Senin, 06 Mei 2013



Pembangunan di bidang pendidikan membutuhkan kebijakan yang tepat sasaran guna mencapai keberhasilan pembangunan sumber daya  manusia setiap daerah yang ada di Propinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan pendidikan di Propinsi Riau pada masa otonomi daerah Tahun 2004-2011 dan Menjelaskan dan memaparkan Kendala yang dihadapi di bidang pendidikan di Propinsi Riau pada masa otonomi daerah Tahun 2004-2011. Hasil penelitian menunjukan adanya kebijakan pendidikan di Propinsi Riau pada masa otonomi daerah, selama ini khususnya terhadap efektifitas kebijakan dalam pengalokasian anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Riau belum menunjukan adanya kebijakan yang lebih efektif, dalam hal ini mengalokasiakan anggaran dalam APBD Propinsi Riau untuk pembangunan di bidang pendidikan. Kendala yang dihadapi adalah, belum tersedianya sumber daya manusia yang handal dalam penyelenggaraan pendidikan, adanya keterbatasan anggaran dalam pembiayaan pendidikan, fasilitas pendidikan yang belum memenuhi kebutuhan masyarakat terutama masyarakat di daerah pelosok atau desa terpencil, dan belum diterapkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah disetiap pemerintah kabupaten/kota di Propinsi Riau.

Rabu, 09 Januari 2013

Salah satu tuntutan menjadi dosen yang profesional adalah melakukan penelitian dan pengembangan sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki. Masalah yang dihadapi dewasa ini adalah rendahnya minat dosen dalam melakukan penelitian. Dari laporan tahunan, pada tahun 2011 hanya 40 % dosen p. Sejarah fkip ur yang melakukan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan rendahnya minat dosen dalam melakukan penelitian yaitu (1) Terbatasnya dana untuk kegiatan riset dan pengembangan. (2) Kurangnya minat untuk melakukan riset.  (3).   Rasa ingin tahu dan ditindaklanjuti dengan aksi pembuktian juga masih rendah. (4).             Kurangnya minat mahasiswa dan dosen untuk bekerja secara rutin di laboratorium atau di lapangan. (5).             Riset belum dijadikan ujung tombak dalam pengambilan keputusan/kebijakan. (6). Rendahnya networking dosen dan mahasiswa. (7). Terbatasnya kemampuan bahasa baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Internasional. (8). Kurangnya rasa percaya diri. (9). Hasil-hasil penelitian juga tidak dipublikasikan dalam melaksanakan program pembangunan, sehingga menimbulkan kemalasan bagi para dosen untuk meneliti,”

Selasa, 18 Oktober 2011

Candi Muara Takus


PENDAHULUAN
Eksistensi Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara tidak diragukan lagi. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang mempunyai kekuasaan besar, berkuasa atas darat dan laut Indonesia bagian barat, Smenanjuang Tanah Melayu dan Lautan Cina Selatan. Kerajaan Sriwijaya ini tumbuh, berkembang dan mengalami masa kejayaan selama beberapa abad, mulai abad ke VII sampai akhir abad ke XIII. Sriwijaya menguasai sepenuhnya jalan perdagangan utama pada masa itu yang sangat ramai dilayari dan dilalui serta disinggahi oleh armada-armada dagang Arab, Persia, India dan Cina. (Muchtar Lutfi, 1997: 86)
Tidak ada jalan lain pada waktu itu yang bisa menghubungkan timur dan barat. Jalan Sutra di Asia Tengah sudah tidak dipakai lagi karena rintangan alam yang berat serta ekonomis tidak menguntungkan. Karena itu pelayan antara timur dan barat mau tidak mau harus melalui daerah kekuasaan Sriwijaya. Akibat geografis yang strategis ini memberikan keunggulan dan keuntungan kepada Sriwijaya dan hal itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa kuat dan berkembang.
Potensi lain yang dimilikinya ialah Sriwijaya menghasilkan sendiri barang dagang utama pada waktu itu yakni Lada dan Timah. Daerah yang banyak menghasilkan Lada itu ialah daerah sepanjang Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan, Kuantan Singingi dan daerah Batang Hari. Timah banyak dihasilkan di daerah Kedah dan Tapung (Petapahan) di Hulu Sungai Siak. Emas banyak dihasilkan di Kuantan dan Singingi. Hasil penting ini beserta hasil lainnya menyebabkan pedagang dari barat dan timur berlomba-lomba mencari barang dagangan itu ke Sriwijaya. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya mulai menjadi sangat ramai dan merupakan sekaligus pelabuhan penimbunan. (Muchtar Lutfi, 1997: 87)
Riau yang banyak menghasilkan Lada dan Timah serta barang-barang dagangan lainnya seperti Gading, Damar, Getah Hutan, Geliga, Cula Badak dan lain-lain serta letaknya di tepi Selat Malaka, sudah pasti merupakan faktor yang menentukan dalam tubuh Sriwijaya. Kiranya suatu hal yang mustahil kalau di tempat yang mempunyai sumber terbesar dari perekonomian suatu negara tidak ada di situ suatu kota atau pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang yang akan dijual atau menunggu waktu untuk diekspor.
Candi ini terletak di sebelah kiri mudik Sungai Kampar, kira-kira 138 KM dari Kota Pekanbaru. Jarak ini dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan kendaraan bermotor. (Pemda, 1980: 58)
Candi Muara Takus adalah nama dari sekumpulan candi yang terdiri dari Candi Mahligai Stupa, Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Palangka dan tempat pembakaran tulang belulang manusia. Kompleks percandian ini merupakan lambang dan tempat pemujaan penganut Budha yang langsung datang dari India dan bahkan dari Cina melalui Tanah Genting Kra dan Land Bridge yang terkenal dengan nama Paparan Sunda (Sunda Plant).
Bennet menyatakan bahwa kompleks Candi Muara Takus ini didirikan disekitar abad XI M. penyelidikannya didasarkan pada pecahan Keramik yang terdapat disekitar candi tersebut.
Moens yang mengadakan penyelidikan berdasarkan arsitektur bangunan tanpa relief, menyatakan candi ini dibangun pada abad IV M dan menyebutkan bahwa Muara Takus adalah pusat Kedatuan Sriwijaya.
F. M. Schnitger yang mengadakan pnyelidikan dari dasar dua bahan bangunan, di mana candi ini dibangun dari Batu Sungai dan Batu Bata, menarik kesimpulan bahwa candi ini didirikan di sekitar abad VII M.
Yzrman dalam tahun 1900 pernah menemukan sebuah tembok batu bekas benteng kota yang terbentang dari Muara Takus sampai Batu Bersurat sepanjang lebih kurang 14 km. menurut penelitian para ahli, sebenarnya dikompleks ini terdapat 7 buah candi sedangkan yang ditemui baru 4 buah. (Pemda, 1980: 58)
Kompleks ini berukuran 74 x 74 m.
PEMBAHASAN
Di Muara Takus sebagai Pusat Sriwijaya sampai sekarang masih meninggalkan bukti kebesaran Agama Budha yaitu berupa kompleks percandian yang jelas menunjukkan sifat Agama Budha. Gaya bangunannya sama dengan gaya bangunan Candi Borobudur dari Dinasti Sailendra di Jawa Tengah.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nama tersbut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang brmuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yatu Muara dan Takus. Kata Muara mempunyai pengeritan yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata Takus berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besar, Ku berarti tua dan Se berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muata Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di muara sungai. (www.kamparkab.go.id.senin 5 okt 2009. 15 shawal 1430)
Dari bukti-bukti yang diketemukan, kompleks percandian Muara Takus adalah bagian dari suatu kota yang membentang sepanjang dan menghadap Batang Kampar Kanan. Kota itu diperkirakan meliputi Muara Takus, Bukit Katangko (Koto Tuo) Pongkai dan Batu Bersurat sampai Muara Mahat lebih kurang 28 KM.
Nama Pongkai berasal dari bahasa Cina, Pong berarti lubang dan Kai berarti tanah, maksudnya ialah lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian sekarang tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Dari bekas-bekas yang masih ada ternyata pada waktu dahulu bahwa daerah itu merupakan suatu kota yang cukup besar. Kota tersebut di sekelilingnya dibuat dinding dari tanah di luarnya dibuat parit, mungkin berfungsi juga sebagai benteng pertahanan. Dari bekas-bekas dapat diperkirakan bahwa kota itu lebarnya (arah Utara-Selatan) ialah 1,25 KM, sedangkan panjangnya ke Sungai Kampar Kanan kira-kira 200 sampai 100 meter dari tepi sungai. (Muchtar Lutfi, 1997: 116)
Di dalam lingkungan kota itu berdekatan/ berhampiran dengan batas kota bagian sebelah barat terletak kompleks bangunan suci yang dikelilingi oleh sebuah dinding dari batu pasir berukuran 74x74 Meter. Pintu gerbang utama terletak di tengah-tengah dinding sebelah utara menghadap Batang Kampar Kanan.
Candi Muara Takus merupakan Candi Budha, terlihat dari adanya Stupa, yang merupakan lambang Budha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk Candi Buddha dan Syiwa. Pendapat tersebut didasarkan dari bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara Takus, yang menyerupai bentuk Lingga (kelamin laki-laki) dan Yoni (kelamin prmpuan). (www.kamparkab.go.id.senin 5 okt 2009. 15 shawwal 1430)
Candi Muara Takus adalah candi tertua di sumatera yang terbuat dari Tanah Liat, Tanah Pasir dan Batu Bata. Bahan pembuat candi ini, khususnya Tanah Liat, diambil dari Desa Pongkai yang terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah Stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari Batu Bata dan sebagian kecil dari Batu Pasir Kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari Batu Putih dengan tinggi tembok 80 cm. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Kompleks ini terdiri dari 6 buah bangunan yang tidak sama besar dan bentuknya. Di antara jumlah itu hanya empat, yaitu Mahligai Stupa, Candi Bungsu, Candi Tua (yang terbesar) dan Candi Palangka yang masih dapat diperkirakan sifatnya sebagai bangunan Agama Budha. Berdasarkan penyelidikan para ahli, bangunan-bangunan itu sudah berulang kali diperbaiki dan perbaikan terakhir diperkirakan pada abad ke XI. (Muchtar Lutfi, 1997: 116)
Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari Batu Bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)

Candi mahligai stupa
Lurus berhadapan dengan gerbang masuk, di sisi halaman sebelah selatan berdiri bangunan yang paling awet, yaitu Candi Mahligai Stupa yang bentuknya ramping dan indah semampai. Candi Mahligai adalah candi yang paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9.44 m x 10,5 m, tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri di atas pondamen segi delapan (Astakoma) serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah selatan. Di dasar bangunan pondamen-pondamen bersisi 28, dihiasi dengan batu pasir berwarna kuning. Pada bagian alas tersebut terdapat ornament Lotus atau Teratai Ganda (yang apabila diteliti ternyata di dalamnya terdapat bangunan Teratai yang lebih tua, jadi merupakan bangunan yang berlapis bekas pemugaran yang dilakukan oleh Kerajaan Sriwijaya), dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara Silindrik yang bentuknya mirip Phallus (Yoni) dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Pada keempat penjuru sisi 36 ini, ditempatkan Patung Singa yang sedang duduk terbuat dari Batu Pasir. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran bersegi delapan yang teratur di atasnya menonjol sebuah jalur dengan 16 buah Kepala Singa. Kubahnya berasalkan beralaskan sebuah Teratai dari Pasir. Di tengah-tengah menara dahulunya ada sebuah tiang kayu dengan beberapa buah Payung yang diletakkan berurutan dari atas ke bawah di dalam sebuah lobang yang dalam kira-kira dua meter.
Di sebelah utara dibuat jenjang ke atas yang telah dua kali diperbaiki. Dulunya jenjang ini merupukan penopang sebuah dinding tembok dengan dua ekor gajah yang sedang berlutut. Serambinya juga mempunyai dinding penopang yang kukuh.
Volume Candi Mahligai adalah 423,20 m3 yang terdiri dari volume bagian kaki yaitu 275,3 m3, volume tubuh 66,6 m3 dan volume puncak 81,3 m3.
Dahulu menurut F. M. Snitger, pada keempat sudut pondasi terdapat Arca Singa dalam posisi duduk yang terbuat dari Batu Andasit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan Daun Oval dan relief-relief skelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)

Candi bungsu
Candi Bungsu bentuknya mirip dengan Candi Borobudur. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 m. tinggi candi ini 6,20 m dari permukaan tanah dan volumenya 365,8 m3. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang trbuat dari Batu Putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang diatasnya. Pada sebuah dasar bersisi 20 terletaklah sebuah dasar yang rendah bersisi 36 yang mempunyai sebuah Teratai. Dalam Teratai tersebut terdapat Tanah dan Abu. Dalam Tanah tersebut didapatkan tiga keping Potongan Emas dan satu keeping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar Tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong Batu Persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar Tricua dan sembilan buah huruf.  Pada ketinggian dasar bersisi 20 terdapat sebuah batu dengan sembilan Pucuk Surat dan di tengah-tengah masing-masing sisinya sebuah Vajra. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih sparuh bangunan bagian utara terbuat dari Batu Pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari Batu Bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari Batu Pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.

Candi tua
Candi Tua merupakan candi terbesar di antaa bangunan lainnya di kompleks Candi Muara Takus. Candi ini terletak di sebelah utara Candi Bungsu. Panjang candi tua 31,65 meter dan bagian yang paling lebar ialah 20,20 meter. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. tangga masuk terdapat di sisi barat dan sisi timur yang didekorasi dengan Arca Singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. dilihat dari sisi bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah 7 m dan tinggi 2,50 m. ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang menglilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah Bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Tua. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan Batu Pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 dketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.

Candi palangka.
Candi Palangka terletak 3,85 m sebelah timur Candi Mahligai. Bangunan ini trdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan batu tidak sama dengan dinding Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya terbenam sekitar satu meter. Pemugaran dilaksanakan hanya di bagian kaki dan tubuh candi. Karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada tahun 1860 sudah tidak ada lagi. Di bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah rusak, sehingga tidak dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m serta tingginya 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,9 m3. candi Palangka pada masa lampau di duga digunakan sebagai Altar. (www.kamparkab.go.id.senin 5 okt 2009. 15 shawal 1430)
Reruntuhan
Di sebelah timur Candi Tua ada sebuah bangunan berukuran 13,20 x 16,60 meter dan disebelah selatan reruntuhan itu adalah sebuah dasar dari bangunan berukuran 5,75 x 5,75 meter. (Muchtar Lutfi. 1997: 117)
Selain bangunan-bangunan tersbut di atas, di sebelah utara, atau tepat di depan gerbang Candi Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lobang. Tempat ini diperkirakan tempat pembakaran jenazah. Lobang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi untuk mengeluarkan abunya. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. (www.kamparkab.go.id.senin 5 okt 2009. 15 shawwal 1430)

Makna candi
Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Budha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Budha. Agama Hindu dan Budha berasal dari India sehingga konsp yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang Air Suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat di mana akan didirikan bangunan tersebut. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angina di mana Dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan Gunung Meru sebagai tempat tinggal para dewa dikelilingi oleh Tujuh Lautan. Maka secara nalar dan umum dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat menukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperuan dari upacara ritual. Selain factor air, factor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengnal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan social/ ekonomi dan perdagangan. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Factor kekuasaan juga berpengaruh dm pembangunan satu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menakluakkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek kehidupan. Pada candi muara takus ini aspek-aspk yang dapat dilihat antara lain :
1.      Aspek Teknologi. Bahan yang digunakan adalah Batu Bata. Ukuran Bata yang dipakai membanun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki qualitas yang lebih baik dari Bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan Tanah Liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain Tanah Liat, misalnya Pasir. Selain itu, terdapat “isian” di dalam Bata, biasanya berupa Sekam. Maksud dari isian ini, supaya Bata kuat. Perekatan antar Batu Bata menggunakan Sistem Kosod. System Kosod merupakan system perekatan Bata dengan cara menggosokkan Bata dengan Bata lain di mana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. System ini juga dapat ditemukan di situs-situs di Jawa Timur dan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan Bata yang menggunakan sistm Kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
2.      Aspek Social. Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai. Bgitu juga pada saat pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
3.      Aspek Religi. Terlihat dari bentuk Candi Muara Takus yang berupa Stupa, yang menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Budha, khususnya aliran Mahayana. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Arsitektur.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah Stupa. Bentuk Stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan Bata atau timbunan dan diberi Puncak Meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya.
Berdasarkan fungsinya Stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1.      Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2.      Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
3.      Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku Candi Perwara. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Berdasarkan fungsi diatas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan Stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan Stupa Budha di Myanmar, Stupa di Vietnam, Srilanka atau Stupa Kuno di India pada periode Ashoka, yaitu Stupa yang memiliki Ornament sebuah Roda dan Kepala Singa, hampir sama dengan Arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung Singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melanbangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek “terang” yang dapat mengalahkan aspek jahat. Dalam agaran agama Budha motif hiasan Singa dapat dihubungkan maknanya dengan Sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada Sang Budha sebagai “Singa dari Keluarga Sakya”. Serta ajaran yang disampaikan oleh Sang Budha juga diibaratkan sebagai “Suara” (Simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe Singa yang dianggap baik, antara lain :
1.      Udyata; Singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut Simhavalokana.
2.      Jagrata; Singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (Mattarupina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut Khummana Simha.
3.      Udyata; Singa yang digambarkan dm sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan Ihmpa Simha.
4.      Gajakranta; Singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas Raja Gajah. Satu kaki depannya diangkat di depat dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut Simha Kunjara. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
Dalam kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki Patung Singa, yaitu Candi Tua dan Candi Mahligai. Di Candi Tua Arca Singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan Patung Singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena Singa merupakan symbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R. D . M. Verbeck dan E. Th. Van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Budhis yang terdiri dari Biara dan beberapa Candi. (wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 10.13.2009)
KESIMPULAN
Candi muara takus merupakan salah satu bangunan keagamaan peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya. Kompleks candi muara takus terdiri atas candi mahligai stupa, candi bungsu, candi tua dan candi palangka. Di lihat dari arsitektur pembangunan candi menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah Stupa. Bentuk Stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan Bata atau timbunan dan diberi Puncak Meru.
REFERENSI
F. D. K. Bosch. 1975. Criwijaya, Cailendra dan Sanjayawamsa. Bharata. Jakarta.
Muchtar Lutfi. 1997. Sejarah Riau. Percetakan Riau
Pemda. 1980. Riau Selayang Pandang. Pemerintahan Daerah Tingkat I Provinsi Riau
Purbacaraka. 1952. Riwayat Indonesia I. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
Selamet Mulyana. 1968. Sriwijaya. Arnoldus Ende. Flores NTT.
Soekmono. 1958. Tentang Lokalisasi Sriwijaya. Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I MIPI.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. (10.13.2009)
www.kamparkab.go.id. Senin 5 Okt 2009. 15 Shawal 1430)